Kamis, 19 November 2015

Siapa Menuai Untung dari Bom Paris?



Pada saat investigasi teror Paris masih berlangsung, logika yang harus didahulukan untuk mencari kira-kira pelaku adalah siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut. Siapa yang paling menuai keberuntungan, biasanya dia yang berpotensi menjadi pelaku. 

Ditemukan paspor Suriah di salah satu penyerang, demikian rilis Republika yang mengutip Fox News. Kemarin, terbukti paspor itu palsu (The Independent 17/11). Penemuan paspor ini menjadi argumen pengunci penolak imigran Suriah ke Eropa. Berbagai kicauan di sosial media mengecam pengungsi Suriah yang menurut mereka masuk Eropa untuk meneror ini. Bukalah artikel tentang bom Paris, bagian komen penuh dengan penolakan akan pengungsi Suriah.

Mereka juga menyalahkan Angela Merkel, Kanselir Jerman, yang membuka perbatasan negara untuk pengungsi Suriah. Mereka menuntut Merkel mengubah kebijakan pintu terbuka perbatasannya. Mereka juga minta komitmen awal Uni Eropa untuk menyerap pengungsi Suriah dibatalkan. Polandia negara yang paling awal menolak menerima pengungsi Suriah sesuai kuota yang ditetapkan Uni Eropa (The Economist, 14/11).

Saat ini ada ratusan ribu pengungsi Suriah di Eropa yang menunggu ditempatkan di negara tuan rumah. Sebagai catatan, hampir lima juta warga Suriah mengungsi karena konflik dalam negerinya. Dua juta lebih diterima Turki. Lebanon dan Jordan masing-masing satu juta lebih. Saudi menerima setengah juta, tapi tidak dikategorikan sebagai pengungsi. Saudi menyebut warga Siria sebagai saudara yang sedang kesusahan. Sisanya memencar di berbagai negara, termasuk Uni Eropa. Dari negara Uni Eropa, Jerman penerima terbanyak, setelahnya Swedia, sedang Perancis bersedia menerima 24 ribu pengungsi (UNHCR.org). 

Jumlah pengungsi Suriah yang berlabuh di Uni Eropa memang tidak sebanyak di Turki dan negara Arab lainnya, tetapi tetap angka yang besar. Paspor Suriah yang ternyata palsu ini tetap menjadi alasan Barat menolak pengungsi Suriah. Banyak negara bagian Amerika menolak pengungsi Suriah.   
Selain paspor Suriah, ada pengakuan video tanpa tanggal yang menyampaikan ancaman ISIS pada Perancis. Perancis tidak akan pernah damai dan tenteram sepanjang terus tergabung bersama militer Amerika mengebom wilayah penguasaan ISIS. Sehari sebelum teror di Paris, New York Times menulis Amerika meningkatkan serangan militer ke wilayah penguasaan ISIS yang kaya minyak.

Andai ISIS benar pelakunya, maka Amerika dan sekutu punya alasan jitu untuk menggempur secara hebat wilayah kekuasaan ISIS di Irak, Siria. Ada pertaruhan besar di sini. Amerika dan sekutu tidak akan membiarkan setetes darah warga negara mereka tumpah di tanah mereka. Ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan di sini. Dengan kekuatan Amerika sekarang –tanpa sekutunya- sekali serang, Amerika akan mampu menumbangkan ISIS.

Kekuatan militer Amerika tidak sebanding dengan ISIS. Militer Amerika terbaik sedunia. Amerika memiliki tentara aktif 1,3 juta orang, 13,900 pesawat tempur, 920 helikopter, 20 pesawat penumpang, dan 72 kapal selam. Anggaran militernya 9000 trilyun rupiah (610 milyar dollar) pada 2014 jauh lebih banyak daripada anggaran sembilan negara di bawahnya (Businessinsider,  29/09). Kekuatan ISIS menurut Daniel Koehler, Direktur Institut Jerman tentang Studi Radikalisasi dan De-radikalisasi (Girds) berkisar antara 40-50 ribu orang. Angka perkiraan tertinggi adalah 200 ribu, tapi, ISIS kehilangan banyak pasukannya dalam pertempuran (Independent, 28/06).

Jika Amerika ingin menumpas habis ISIS, logikanya, tidak sulit menghabisi ISIS sekali gempur. Ingat, militer Irak yang perkasa itu dihancurkan Amerika hanya dalam hitungan minggu. Kekuatan ISIS sangat lemah dibanding militer Irak. ISIS dengan mudah akan hancur jika membuat Amerika dan sekutunya sangat marah hingga memutuskan menumpas habis ISIS saja.

Benar saja. Minggu malam (15/11) Perancis menyerbu Raqqa, daerah dalam penguasaan ISIS. Raqqa dianggap sebagai ibukota daerah kekuasaan ISIS. Ini penyerangan terhebat Perancis sejauh ini. Operasi ini dalam koordinasi bersama Amerika dan Perancis (Guardian 16/11).

Perancis menggunakan sepuluh pesawat tempur. Dua puluh bom ditembakkan. Mereka menyerang lokasi rekrutmen ISIS, depot amunisi, dan kamp pelatihan serdadu ISIS. Sumber militer yang dikutip Associated Press menyebutkan penyerangan ini sangat masif dan menghancurkan dua markas ISIS.
Serangan ini diteruskan Selasa (17/11). Barat punya pembenaran untuk melumatkan ISIS karena bom Paris dan video pengakuan itu. Amerika saja ikut menyerang konvoi seratus lebih truk minyak ISIS di Suriah Selatan. Anehnya, Vladimir Putin, Presiden Rusia, berjanji mendukung kelompok tertentu di Suriah untuk melawan ISIS.

Ini tentu situasi yang perlu direnungi. Ada apa ini? Mengapa Rusia dan Amerika mendadak sepakat untuk ‘memusuhi’ ISIS.

Jika benar ISIS yang menyerang Paris, akan ada efek domino lainnya. Teror Paris ini menyudutkan muslim sedunia. Muslim merasa tertekan karena penyerangan itu. Rasa tertekan ini menyebabkan sebagian mereka menjauhi ISIS. Kampanye ‘Not in My Name’ bahkan sudah marak di sosial media. Kampanye ini menolak cara ISIS berjuang. Kampanye ini untuk menunjukkan pada sekitar kalau mereka secara idelogi bercerai dengan ISIS.

ISIS teralienasi dari komunitas Muslim dunia. Bagi ISIS ini berbahaya karena mereka menyandarkan diri dari ‘pasokan’ mujahidin dari berbagai belahan dunia yang terpanggil secara ideologis untuk mendukung ‘khalifah’.

Siapa pelaku teror ini sebenarnya?

Ada alternatif lain. Jika ISIS yang beroperasi sekarang masih merupakan perpanjangan tangan CIA dan Mossad seperti yang diisyaratkan Hillary Clinton dalam wawancaranya dengan CNN dan Fox News dan seperti yang diyakini Noam Chomsky, maka pemaknaan apa yang bisa diambil dari peristiwa ini? Mengapa Perancis dan Amerika mengebom kelompok yang puluhan tahun lalu mereka latih dan danai untuk melawan Rusia (dulu Uni Sovyet)?

Di sini mungkin analisa lain muncul. Salah satu karakter ISIS adalah sifat fluidity gerakannya. Sifat berubah dengan cepat dan tidak terkontrol. Pembentukan ISIS bisa jadi desain CIA dan Mossad. Tapi, seiring dengan membanjirnya pengagum dan pengikut ISIS dari berbagai belahan dunia yang lain, kontrol CIA dan Mossad bisa jadi tidak sekuat awalnya.

Jika saat ini ISIS tidak bisa dikendalikan, sedangkan mereka menguasai pipa minyak tempat minyak Suriah dan Irak mengalir dan menghasilkan 700 milyar rupiah per bulan, tentu saja keberadaan ISIS jadi menguatirkan. Logikanya, minyak yang sangat berharga itu lepas dari genggaman. 

Sebagian tentu akan meragukan tangan tak terlihat CIA dan Mossad ini. Sesuai dengan karakter operasi intelijen, faktanya akan tersembunyi. Jika faktanya terang benderang, operasi gagal namanya. Kembalikan lagi saja pada siapa yang menuai untung dari kekacauan ini semua. Jangan lupa, Desember tahun lalu, Perancis mengakui Palestina sebagai negara. Agak terlambat dibanding negara Eropa lainnya, memang. Pengakuan ini membuat Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, berang.

(Maimon Herawati, Dosen Jurnalistik Fikom Unpad/S2 Kajian Palestina di Skotlandia)

Tidak ada komentar: